Kerusakan ekosistem penting dalam kawasan menjadi masalah utama, kerusakan terjadi lebih banyak disebabkan oleh perilaku masyarakat pemanfaat kawasan baik itu nelayan, wisatawan dan pemanfaatannya melakukan aktivitas yang dapat merusak ekosistem yang ada. Kegiatan yang banyak dilakukan adalah memancing dengan menginjak karang, penambangan pasir, penebnagan mangrove dan aktivitas wisata yang tidak ramah lingkungan. Untuk mengurangi permasalahan yang berada dalam TWP Gita Nada perlu dilakukan pengelolaan yang baik dan optimal.
Menurut data, Kebutuhan pembiayaan untuk pengelolaan kawasan konservasi perairan bervariasi, tergantung dari luas kawasan. Kawasan yang luasnya lebih dari 1 (satu) juta ha membutuhkan biaya sekitar US $ 7,5/ha/tahun, sedangkan kawasan yang luasnya kurang dari 20 ribu ha sekitar US $ 110/ha/tahun (KKJI, 2014). Dari data tersebut TWP Gita Nada idealnya membutuhkan dana pengelolaan sebesar Rp. 2,8 milyar/tahun. Sedangkan pemerintah provinsi NTB melalui APBD menganggarkan sebesar Rp 10.418.400.000 untuk 14 kawasan konservasi periode 2019-2023. Sedangkan apabila dibagi 14 kawasan maka anggaran setiap kawasan konservasi sekitar Rp. 148.000.000/tahun. Nilai ini sangatlah tidak cukup dalam melakukan pengelolaan kawasan konservasi perairan. Maka dari itu perlu dicari sumber pendanaan yang berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan pengelolaan.
Pendanaan berkelanjutan bisa bersumber dari masyarakat, pendanaan ini diharapkan menjadi sumber pendapatan untuk membiayai pengelolaan kawasan konservasi perairan dalam jangka panjang. Saat ini dalam kawasan konservasi perairan TWP GIta Nada sudah ada inisiatif dan partisipasi dari masyarakat untuk membantu pengelolaan. Misalnya kelompok masyarakat pengawas (Pokmaswas) melakukan patroli rutin dalam kawasan, pihak swasta membantu pokmaswas dengan bahan bakar dan kapal patroli serta terdapat donasi dari pihak swasta untuk diberikan dalam mendukung pengawasan. Untuk itu perlu dibuat mekanisme pendanaan berkelanjutan di tingkat masyarakat agar pendanaanya tersalurkan dengan benar. Sehingga pemangku kepentingan dalam kawasan menyusun mekanisme pendanaan berkelanjutan tingkat masyarakat yang terdiri dari lima komponen, yaitu pengelola Kawasan Konservasi Perairan (KKP), pemerintah administratif, masyarakat mitra kawasan (MMK), yayasan mitra kawasan (YMK) dan asosiasi pemanfaat kawasan (APK). Tiga komponen utama dalam mekanisme pendanaan berkelanjutan tingkat masyarakat yaitu MMK, YMK dan APK. Dalam mengembangkan mekanisme pendanaan berkelanjutan tingkat masyarakat di kawasan konservasi perairan perlu dilakukan beberapa tahapan yang terdiri dari tahap inisiasi, identifikasi dan implementasi pendanaan berkelanjutan.
Dalam mendukung pengelolaan kawasan konservasi perairan di NTB telah diinisiasi dan diimplementasikan sistem pendanaan berkelanjutan di tingkat masyarakat. Kawasan konservasi yang telah mengimplentasikan sistem ini di NTB adalah kawasan konservasi perairan daerah Taman Wisata Perairan Gili Sulat dan Lawang. Lawang (TWP Gili Sulat dan Lawang). Pendanaan berkelanjutan di TWP Gili Sulat dan Gili Lawang dikelola oleh Yayasan KPPL (Komite Pengelola Perikanan dan Laut). Sumber pendanaan berasal dari pengelolaan sarana hibah dan unit usaha pariwisata berkelanjutan. Sarana hibah yang dikelola oleh Yayasan KPPL berupa perahu, rumah ikan dan sarana wisata water sport (banana boat, cano, dan warung pesisir) yang disewakan kepada wisatawan. Pembagian persentase dari hasil keuntungan usaha dari sarana hibah yaitu 40% dari hasil keuntungan dialokasikan kepada MMK untuk kegiatan pengawasan dan 60% dari hasil keuntungan masuk ke Yayasan KPPL sebagai uang kas. Uang kas tersebut digunakan sebagai biaya operasional dan kegiatan yayasan, seperti kegiatan konservasi, pendidikan dan sosial untuk mendukung pengelolaan kawasan konservasi di TWP Gili Sulat dan Lawang.
Contoh kasus pada TWP Gili Sulat dan Lawang perlu dilakukan di kawasan TWP Gita Nada. saat ini Cabang Dinas Kelautan Lombok sebagai pengelola kawasan untuk menginisiasi sistem pendanaan berkelanjutan di tingkat masyarakat. Sistem pendanaan yang sudah berjalan di tingkat masyarakat perlu dikuatkan sesuai dengan peran masing-masing. Identifikasi pemangku kepentingan harus dilakukan dalam membangun sistem, identifikasi pemangku kepentingan dilakukan untuk mengetahui peran dan fungsi masing-masing pemangku kepentingan dalam mendukung pengelolaan kawasan konservasi perairan. Sehingga pada tahapan implentasi setiap pemangku kepentingan berjalan sesuai tugas dan fungsinya.
Implementasi pendanaan berkelanjutan tingkat masyarakat dilakukan dengan melibatkan semua komponen institusi pendanaan berkelanjutan yaitu YMK, MMK dan APK. Sumber pendanaan berkelanjutan tingkat masyarakat didapatkan dari keuntungan unit usaha yang dijalankan oleh YMK dan dukungan pembiayaan dari APK. YMK memiliki unit usaha yang menjadi sumber pendapatan yayasan. Keuntungan dari unit usaha digunakan untuk kegiatan yang mendukung pengelolaan kawasan konservasi, seperti kegiatan pengawasan, rehabilitasi dan kegiatan lainnya. Dukungan pembiayaan dari APK dapat berupa uang maupun barang, seperti peralatan untuk pengawasan (perahu atau bahan bakar).
Mekanisme ini diharapkan dapat terus berjalan
secara berkelanjutan karena dikelola sendiri oleh masyarakat, sehingga
masyarakat mendapat manfaat dari keberadaan kawasan konservasi perairan. Dengan
adanya kawasan konservasi diharapkan ekosistem tetap terjaga, sehingga dapat
dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.